Jampidum dan Gubernur DK Jakarta Berkolaborasi Terapkan Pidana Kerja Sosial Sebagai Wujud Pembaruan Hukum Nasional
PUSAT PENERANGAN HUKUM KEJAKSAAN AGUNG
Jl. Sultan Hasanuddin No. 1 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan
SIARAN PERS
Nomor: PR – 976/021/K.3/Kph.3/12/2025
Jampidum dan Gubernur DK Jakarta
Berkolaborasi Terapkan Pidana Kerja Sosial
Sebagai Wujud Pembaruan Hukum Nasional
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Asep N. Mulyana menyaksikan penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) dengan Gubernur DK Jakarta Pramono Anung dengan Kepala Kejaksaan Tinggi DK Jakarta Patris Yusrian Jaya dan Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) dengan Walikota se-DK Jakarta pada Senin 15 Desember 2025 di Kantor Gubernur Jakarta.
Kolaborasi ini bertujuan untuk mengimplementasikan secara optimal Pidana Kerja Sosial (PKS) sebagai salah satu sanksi dalam kerangka pembaruan hukum pidana nasional.
Jampidum mengungkapkan bahwa kerja sama ini merupakan langkah strategis dalam mewujudkan penerapan dan penegakan hukum yang modern, efisien, terpadu, serta mengedepankan pendekatan restoratif, korektif, dan rehabilitatif di Indonesia.
Implementasi Pidana Kerja Sosial adalah bagian integral dari misi besar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) 2023 (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023) yang mengusung paradigma:
- Restoratif: bertujuan merestorasi dan mengembalikan pelaku, korban, dan tatanan sosial kepada keadaan semula.
- Korektif: melakukan review dan koreksi terhadap pelaku, korban, dan tatanan sosial.
- Rehabilitatif: berupaya memperbaiki dan merehabilitasi akibat dari perbuatan pelaku.
“Pidana Kerja Sosial menjadi opsi sanksi yang berorientasi pada rehabilitasi dan kontribusi positif bagi masyarakat, alih-alih pemenjaraan. Pelaksanaannya diatur dengan prinsip-prinsip utama yakni tidak dikomersialkan, tidak menghalangi mata pencaharian pokok pelaku, sesuai profil pelaku, memberikan manfaat dan kontribusi positif bagi masyarakat dan prinsip simbiosis mutualisme,” ujar Jampidum.
Dalam penerapannya, Penuntut Umum dapat mengimplementasikan Pidana Kerja Sosial terhadap tindak pidana yang diancam pidana kurang dari 5 tahun, Jaksa menuntut pidana penjara paling lama 6 bulan; atau pidana denda paling banyak Rp10.000.000 (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023).
Selain itu, Jaksa juga mempertimbangkan faktor-faktor tertentu dalam penentuan tuntutan Pidana Kerja Sosial, di antaranya:
- Terdakwa adalah First Offender (pelaku pertama kali).
- Kerugian dan penderitaan korban tidak terlalu besar.
- Terdakwa telah membayar ganti rugi kepada korban.
- Pidana penjara akan menimbulkan penderitaan yang besar bagi Terdakwa atau keluarganya.
PKS tidak dapat diterapkan untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana minimum khusus, merugikan keuangan atau perekonomian negara dan sangat membahayakan atau merugikan masyarakat.
Keberhasilan implementasi PKS dan penanggulangan tindak pidana memerlukan kolaborasi yang melibatkan berbagai sektor, yang dikenal sebagai Kolaborasi Hexahelix. Kunci penting dari kolaborasi ini adalah keterlibatan masyarakat/ stakeholder terkait, dukungan pemerintah secara kolaboratif serta elemen hukum dan regulasi berperan sebagai penghubung antar sektor.
Jampidum menuturkan bahwa MoU dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menjadi perwujudan nyata dari Kolaborasi Hexahelix ini, di mana lembaga-lembaga penegak hukum (Kejaksaan) bersinergi dengan Pemerintah Daerah (Gubernur/Walikota) untuk kepentingan masyarakat luas.
"Pidana Kerja Sosial adalah inovasi dalam sistem pemidanaan yang memberikan kesempatan kedua bagi pelaku kejahatan ringan untuk memperbaiki diri dan berkontribusi langsung kepada masyarakat. Ini adalah langkah maju Kejaksaan RI dalam mewujudkan restorative justice dan pembangunan legal culture yang humanis, cerdas, dan berintegritas," pungkas Jampidum.
Jakarta, 15 Desember 2025
KEPALA PUSAT PENERANGAN HUKUM
ANANG SUPRIATNA, S.H., M.H.
Keterangan lebih lanjut dapat menghubungi
Tri Sutrisno S.H., M.H. / Kabid Media dan Kehumasan
Hp. 081347660115
Email: humas.puspenkum@kejaksaan.go.id